Melanjutkan koleksi cerita musim panas yang sudah gue mulai dari musim panas dua tahun lalu, pada artikel ini gue akan menggunakan Bahasa Indonesia. Lagipula, gue memang agak merindukan bahasa negeri Ibu Pertiwi ini semenjak perjalanan yang akan gue ceritakan nanti pada bagian selanjutnya ;)
Musim panas sepertinya selalu tersenyum pada gue. Tidak hanya dua tahun lalu, pun 2014 musim panas gue dihiasi dengan kegembiraan. Jika pada tahun 2013 musim panas gue dihiasi dengan konser G-Dragon dan perjalanan bersama teman-teman Sastra Inggris ke Pulau Pramuka, pada tahun 2014 musim panas gue diisi oleh kelulusan dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya - kelulusan yang diperindah juga karena terlaksana bersama sebagian teman-teman terdekat. Kemudian, tentu saja, ada ulang tahun yang selalu menjadi hari bahagia bagi gue. Mungkin bisa dibilang, bagi gue, ulang tahun tidak hanya di tanggal 22, melainkan satu bulan itu.
Tahun 2015 ini, musim panas kembali mengajak gue tersenyum dengan dua perjalanan besar. Yang pertama adalah perjalanan ke Yogya.
Yogyakarta, hingga perjalanan itu dilangsungkan, belum pernah memberikan kenangan yang begitu indah. Bukan karena tempat dan pemandangan yang tidak indah, melainkan karena dengan siapa gue pergi seringkali sangat mempengaruhi suasana hati gue. Sejujurnya, gue sedikit murung karena Yogya seharusnya adalah kota yang menenangkan. Jadi, meski sempat sedikit trauma dan tidak mau kembali ke Yogya untuk waktu lama, gue bertekad akan kembali ke Yogya untuk 'memperbaiki nama Yogya' di hati gue.
Jadilah tawaran Naya untuk menemaninya menemani Bela berlibur gue iyakan.
Kami menghabiskan waktu empat hari di sana, mulai tanggal 27 hingga 30 Juli. Hari pertama, begitu sampai, kami pergi ke hotel dan meletakkan barang. Salah satu dari keuntungan bepergian bersama Naya adalah karena fasilitasnya terjamin. Dulu ketika kami ke Bandung pun begitu.
Setelah bersih-bersih dan sholat, kami melanjutkan perjalanan ke luar. Kami tiba saat hari sudah menjelang malam, jadi waktu kami tidak banyak. Namun, kami memaksimalkan penggunaan waktu itu. Kami coba Gudeg Yu Djum cabang Malioboro yang ternyata kurang begitu terasa bumbunya. Lalu, kami pergi ke Alun-alun Kidul untuk naik becak hias/mobil hias yang terkenal itu.
Becak Hias |
Dan yang di bawah ini kami di depan becak hias yang kami kendarai.
Seperti biasa, gue dengan kenafsuan gue segera berhasrat untuk mengitari Alkid sebanyak dua kali, tapi mas penjaga becak langsung menyarankan coba dulu saja sekali, baru nanti putuskan mau lanjut atau tidak. Ternyata gue memang perlu di-rem, karena setelah coba sekali, gue cepat capek.
Malam itu, kami juga ke Pasar Beringharjo karena Fajar titip beli apa saja yang aneh-aneh. Namun, memang, ya, ke Pasar Beringharjo di malam hari perlu pendamping laki-laki. Di sana, penjualnya mayoritas laki-laki, pembelinya juga mayoritas laki-laki. Gue memang jarang digodai karena mungkin mereka tidak berpikir gue terlihat cukup menarik, tapi Naya dan Bela rupanya lumayan dianggap menarik sehingga mereka sering dipanggil-panggil dan digoda-godai. Karena kasihan, akhirnya kami tidak menghabiskan waktu lama di sana.
*
Keesokan harinya, Bela jalan bersama pacarnya, sementara gue dan Naya memutuskan mencoba menaiki TransJogja yang meski menurut beberapa sumber jeleknya minta ampun, ternyata toh baik-baik saja dan enak digunakan. Cukup membantu bagi turis lokal seperti gue dan Naya.
Tujuan pertama kami dengan TransJogja itu adalah Kebon Binatang Gembira Loka. Gue dan Naya yang sebenarnya tidak punya tujuan konkrit akhirnya memutuskan melihat-lihat binatang. Untungnya, setiba kami di sana, Kebon Binatang Gembira Loka lebih memuaskan daripada ekspektasi gue.
Di sana, pengunjung bisa memberi makan burung dan berinteraksi langsung dengan merak yang dilepas begitu saja di taman burung.
Kemudian, mungkin karena kecil dan tidak terlalu banyak pengunjung (yang mungkin juga disebabkan itu hari sekolah), interaksi dengan binatag lebih mudah.
Begitulah hari kami di Gembira Loka. Tempatnya sendiri luas, tetapi masih bisa dikitari dengan jalan kaki saja. Tentu bila dibandingkan dengan Taman Safari, kebon binatang ini jauh lebih kecil ukurannya. Namun, menurut gue, tidak masalah selama pengunjung bisa melihat semuanya.
Keesokan harinya, kami pergi ke Candi Prambanan.
Tidak banyak yang bisa dilihat karena hampir setengah bagian area Candi Prambanan sedang direnovasi. Lalu, karena yang menemani bukanlah seseorang dengan ketertarikan pada situs-situs bersejarah, jadilah gue lebih banyak bengong mencoba menghayati syahdunya Prambanan. Salah juga, sih, karena saat itu di sana ramai dengan turis-turis yang hanya mencari spot-spot foto keren. Gue jadi inget saat-saat ke sana bareng murid-murid SMA yang tertarik dengan sejarah dan menceritakan pada gue sejarah masing-masing candi bak pemandu wisata handal.
Terkadang kangen murid juga ya, ternyata.
Selama di Yogya, kami pergi juga ke Taman Sari dan Kraton, tapi tidak terlalu banyak yang bisa diceritakan. Meski Yogya masih belum memberikan kenangan yang luar biasa mengesankan, liburan kali ini sudah merupakan kemajuan besar dari kenangan buruk yang diberikan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Memang, dengan siapa kita pergi sangat berpengaruh pada kesan yang kita dapat.
Saat-saat paling membahagiakan bagi gue saat di Yogya adalah di malam terakhir ketika gue berkeliling Malioboro sendirian dan menemukan kedamaian dalam keramaian, kemudian menemukan kegembiraan dalam pertunjukkan seni angklung dan tari di jalanan Malioboro. Rasanya memang seperti itulah Yogyakarta yang seharusnya.
Semoga pada perjalanan ke Yogya selanjutnya, bisa lebih mengesankan!
No comments:
Post a Comment