Wednesday, January 27, 2016

"Words are powerful," he said. "Enough. But if the right person say them..."

The saying is embedded in her thoughts. She doesn't remember who said it; in what occasion. She doesn't know why she can remember it was a 'he'. She is now a grown sorceress--a powerful one. From the farthest Northern icy landscape to the deepest Southern wilderness know who she is. Smiles greet her whenever she encounters strangers. Thank goodness, smile is a universal courtesy. She smiles back, not having to mention any name. It's not that she doesn't want to; it's that she doesn't know the names. 

"Good day, My Lady. Do you remember my son, Tareq?" asked some guy in bar.

"Good day, My Lady. How was the pineapple buttercake I gave you?" asked some woman in some street.

Truth is, she didn't even know how she got to the places. She lost her memory.

Saturday, January 23, 2016

Menanggapi LGBT

Boleh, ya, saya sekali-sekali sok-sok cerdas bicara tentang isu yang sedang marak di dunia ini. Tentu saja, ini sebenarnya masalah dunia pertama. Dunia yang isunya berupa isu kemanusiaan. Dunia yang tidak lagi dipermasalahkan lapar dan kemiskinan dan perang dengan negara tetangga... atau bahkan dengan sesama saudara. Ah, tetapi tidak apa. Toh isu ini sekarang sudah menjadi masalah pula bagi masyarakat Indonesia. Khususnya, dengan semakin vokalnya kaum-kaum terpelajar menyuarakan soal toleransi terhadap kaum LGBT. Apalagi, ada SGRC UI.

Saya pertama kali mendengar tentang SGRC UI dari teman saya di grup. "Di UI lagi rame bahas support buat LGBT, tuh," katanya. Lalu, teman-teman lain turut berpartisipasi dalam percakapan itu dengan memberikan gambar-gambar pamflet dan bukan pamflet yang kurang-lebih menggambarkan apa itu SGRC. Intinya, itu adalah kelompok yang mempelajari seksualitas dan membuka konsultasi/dukungan bagi yang membutuhkan. Beberapa orang di pamflet itu digambarkan sebagai bagian dari kelompok LGBT. Ada yang gay, panseksual... pokoknya segala kelompok LGBT. Oh, iya, bagi yang tidak tahu, LGBT bukan serta-merta gay saja. Banyak kelompok seksualitas lainnya.

SGRC UI kontroversial karena dua hal:
  1. Mengangkat isu yang sensitif bagi masyarakat Indonesia.
  2. Mencatut nama UI.
Untuk masalah kedua, UI segera mengeluarkan press release yang menyatakan bahwa SGRC tidak meminta izin aktivitas pada UI, dan karenanya tidak berhak mencatut nama UI. Dengan adanya press release itu, orang tahu bahwa SGRC bukan bagian dari UI.

Bagi saya dan teman teman, yang sudah belajar ilmu kemanusiaan dan cenderung terbuka/toleran terhadap LGBT, masalah sudah selesai. Kami tahu Indonesia belum siap, atau mungkin tidak akan siap, menerima LGBT sebagai hal lumrah. Tentu saja, penerimaan dan kesiapan toleransi terhadap LGBT bukan berarti lebih bagus atau lebih baik. Hanya memang karakter Indonesia yang erat dengan agama (apalagi sila pertamanya menganut Ketuhanan yang Maha Esa), tidak memungkinkannya menerima LGBT. Kami sebagai warga Indonesia yang beragama, tentu punya larangan tersendiri mengenai cinta sesama jenis (dan cinta sesama jenis adalah bentuk LGBT yang paling marak terdengar).

Namun, penerimaan dan kesiapan toleransi terhadap LGBT juga bukan berarti lebih buruk. Saya belajar tentang rasisme dan feminisme. Keduanya dimulai dari kecenderungan menuju homogenitas (saya pernah membahas ini dalam post tahun lalu). Kulit putih tidak menyukai kulit hitam karena mereka berbeda; dianggap lebih barbar, dianggap bukan manusia yang setara. Begitu pula dengan perempuan. Laki-laki beranggapan perempuan bukan manusia yang punya hak suara sebesar mereka. Karena alasan itulah, kulit hitam dan perempuan sempat dilarang memiliki hak yang sama dengan kaum satunya.

Bagi saya, kaum LGBT sekarang juga menerima perlakuan yang sama dengan perempuan dan kulit hitam. Mereka minoritas, maka diperlakukan berbeda. Kadang, saya melihat ini tidak ada bedanya dengan masalah kaum-kaum minoritas sebelumnya. Oleh karena itu, saya mengerti pentingnya toleransi dalam hal ini.

Toleransi saya, sejauh ini, berupa pengabaian. Jika saya tahu ada orang yang gay, atau ada orang transgender, saya tidak terlalu ambil pusing. Itu hidup mereka, bukan hidup saya. Siapa saya untuk menghakimi mereka? Bukan saya yang nanti akan menghisab amal mereka. Saya bukan Tuhan. Pemikiran saya ini akhirnya menunjukkan pola pikir saya yang beragama lebih ke sifat spiritualnya--hubungannya dengan Tuhan. Dalam sebagian dunia saya, orang-orang seumuran saya (20-an tahun) yang saya kenal, saya rasa kurang-lebih sama. Agama menjadi urusan pribadi yang tidak bisa dihakimi, tidak juga bisa menghakimi. Masing-masing saja.

Namun, ada juga sebagian dunia saya yang lain, dunia dengan orang tua saya dan sebagian orang-orang lain, yang tidak bisa saya abaikan. Pada bagian ini, aspek ritual agama-lah yang ditonjolkan. Katanya, jika saya biarkan LGBT, yang menurut agama merupakan penyimpangan sesat, artinya saya sama saja dengan kaum LGBT. Sama berdosanya, sama sesatnya, sama menyimpangnya. Semasa saya belajar ilmu kemanusiaan, saya sering berdebat soal ini pada ayah saya. Jadilah saya anak durhaka. Anak menyimpang. Dulu saya merasa ayah saya bodoh karena tidak mengerti. Melihat dunia terlalu hitam-putih. Apalagi jika bicara soal kebenaran.

Seiring pertambahan usia, saya mulai melihat dari kacamata ayah saya. Bahwa agama bukan sesuatu yang bisa dilepas begitu saja dari kehidupan. Saat kemarin teman saya cerita bahwa dia bertuhan, bukan beragama... saya membatin, saya pernah seperti itu. KTP saya bilang saya Islam, tapi sesungguhnya saya bertuhan. Bukan beragama. Hubungan saya dengan Tuhan adalah hubungan spiritual, bukan ritual. Tapi saya kemudian berkaca: jika saya Muslimah, saya tidak bisa hanya bertuhan. Saya harus beragama, dan beragama berarti mengadopsi juga aturan-aturannya.

Kembali ke soal LGBT. Jika begini jadinya, habislah saya dalam dilema saat menanggapi LGBT. Saya yang satu bisa menanggapinya dari sisi kemanusiaan (di mana saya melihat ketiadaan toleransi terhadap kaum LGBT adalah bentuk masalah kecenderungan homogenitas umat manusia), saya yang satu bisa pula menanggapinya dari sisi agama (paling tidak, sebaiknya mengingatkan bahwa itu dianggap menyimpang).

Belum ada solusi mengenai bagaimana menjembatani isu LGBT dengan eratnya agama di Indonesia. Mungkin akan ada, tapi saya tidak mau terlalu optimis. Saya yakin, bukan hanya saya yang menemukan masalah ini menimbulkan dilema. Kami warga Indonesia sedang belajar menemukan jalan--kami sedang bertanya-tanya tentang kemanusiaan dan tentang agama. Semoga tidak perlu ada pertentangan ekstrem jika kedua sisi itu tidak lagi bisa berkompromi.

Sunday, January 10, 2016

Menjadi Perempuan (1): Sopir

Saya mau curhat sedikit.

Saya ini perempuan single (oke, jomblo) berusia awal 20-an tahun, berasal dari keluarga Islam (terlepas dari itu, berjilbab), dan bekerja di sebuah kantor media yang memberlakukan pergantian shift (yang artinya, saya kadang harus bekerja dari pukul 6 sore hingga pukul 2 pagi). Keadaan saya yang seperti ini membuat perasaan saya sering tidak menentu, baik soal omongan orang maupun hal-hal yang terjadi.

Permasalahan diawali dengan shift malam (tentu saja, mungkin sebagian dari kalian akan bisa langsung menebak itu masalahnya). Ayah saya tidak pernah setuju pekerjaan saya ada shift malam. Dulu, beliau pernah setuju karena ada sopir yang mengantar ke rumah. Lalu, dengan segera beliau mengubah pikirannya. Katanya, saya perempuan. Tidak baik pulang malam. Beliau tidak menjelaskan apa kekhawatirannya, tapi kurang-lebih saya bisa paham. Bukan karena apa-apa melainkan karena "tidak baik perempuan pulang larut malam" adalah omongan biasa di antara orang Indonesia. Banyak hal bisa terjadi. Saya bisa mendadak diserang orang lalu diperkosa. Pemerkosaan bukan hal asing di belahan dunia mana pun. Termasuk Indonesia. Saat larut malam, jalanan tidak ramai. Tidak ada yang bisa menolong. Saya paham.

Tapi saya sudah kepalang tanda tangan kontrak, dengan didukung oleh persetujuan beliau. Awalnya, saya pun tidak melihat adanya bahaya. Banyak perempuan yang juga pulang malam bersama saya. Ke daerah rumah sejauh saya. Para sopir baik-baik saja, malah bersahabat. Saya lihat, teman searah saya sering mengobrol dengan mereka, maka saya juga ikut begitu. Dalam pikiran saya, toh saya yang butuh jasa mereka. Saya tidak boleh memperlakukan mereka dengan bossy. Lagi pula, saya diantar pulang larut malam. Kalau sikap saya ada yang salah, pastilah bisa mendorong terjadinya hal-hal yang berbahaya (pemerkosaan, pelecehan seksual, penculikan--dunia ini adalah tempat berbahaya). Karena obrolan ringan di antara kami, saya mulai merasa aman. Sopir-sopir itu seusia dengan kami. 20-30-an tahun. Candaan mereka hampir sama dengan kami.

Saya tidak akan berlagak jadi perempuan polos yang tidak awas terhadap kondisi sekitar. Saya tahu saat mulai ada omongan-omongan di antara para sopir. Saya sadar sejak mereka mulai memperlakukan saya sebagai perempuan cantik yang jadi idaman laki-laki. Saya sadar sejak mereka menyukai saya. Saya jelaskan seperti ini, bukan karena saya merasa saya perempuan idaman laki-laki, melainkan karena saya tahu gelagat mereka menunjukkan anggapan mereka yang seperti itu. Saya tidak memaksudkan ini (dan tidak merasa ini) flattering. Jauh. Justru saya merasa terganggu. Jangankan saya; perempuan-perempuan yang benar-benar cantik saja mungkin akan terganggu.

Pada awalnya, saya tidak merasa ada masalah saat ucapan-ucapan itu hanya berupa ucapan kolektif. Saya pikir mereka begitu pada setiap penumpang baru, atau mereka hanya iseng. Tapi kemudian, salah satu dari mereka mulai menunjukkan gelagat yang berbeda. Sebutlah Sopir A. Saya perhatikan, memang Sopir A agak berbeda dari yang lain. Lebih vokal. Lebih seradak-seruduk. Lebih berani. Saya tahu dia bekerja sambil kuliah.

Sejak sebulan yang lalu, Sopir A mulai sering mengantar saya pulang. Jika bukan gilirannya, dia akan ikut menemani si sopir yang bertugas. Sikapnya semakin kentara. Bicaranya manis kepada saya, tidak kepada teman saya. Dia juga sering menyebut-nyebut soal saya ke sopir lain. "Tolong jaga Melati," konon katanya, karena ada sopir yang akhirnya bilang "Oh, ini Melati yang itu?". Lalu, seorang teman berkata, "Nggak apa-apa, Mel. Bagus jadi ada yang jagain." Seolah 'dijaga' adalah hal bagus (itu, omong-omong, bertentangan dengan pikiran saya yang cenderung ingin bertanya balik, "Memangnya perempuan harus dijaga? Hidupnya bergantung pada dijaga?"). 

'Dijaga'.

Sesuatu yang dijaga, konotasinya adalah benda rapuh. Benda berharga, tapi rapuh. Dijaga, konotasinya adalah properti. Saya bukan properti dia, saya juga tidak rapuh. Tapi saya perempuan. Bagaimanapun saya merasa tidak rapuh, ada dinding bernama 'kekuatan fisik' yang tidak bisa saya panjat. Di sebelahnya, ada dinding bernama 'masyarakat' dan 'paradigma' yang juga tidak bisa saya panjat. Sudah dari segi fisik saya jelas tidak akan sekuat laki-laki, masyarakat dan paradigma akan menyalahkan saya jika terjadi apa-apa. Salah saya karena mau ambil shift malam. Salah saya karena menanggapi si sopir mengobrol. Lalu, jika saya abaikan dia dan membuatnya (amit-amit) marah serta nekat, salah saya karena tidak ramah. Meskipun begitu, saya tetap bukan properti dia. Dia tidak perlu menjaga saya. Mungkin saya justru harus dijaga dari dia. Ah, saya melantur. Intinya, saya tidak suka dia bilang pada orang untuk menjaga saya seolah saya adalah properti dia yang rapuh. Ada batas privasi dan kebebasan yang, bagi saya, terlanggar begitu dia mengatakan begitu.

Anyway.

Keadaan mulai memuncak saat dia sendirian mengantar saya ke rumah. Dia bercerita tentang hidupnya. Saya dengarkan dan tanggapi karena pada dasarnya saya suka mengobrol. Mungkin saya yang salah. Saya selalu yang terakhir diantar karena rumah saya jauh. Dari rumah sebelum saya hingga ke rumah saya, dia mengemudi dengan sangat pelan. Saya tahu sangat pelan dan tidak wajar, karena dia biasa mengebut dari Kelapa Gading ke penumpang sebelum saya. Saya diamkan. Mungkin saya yang salah. Saya tidak tahu bagaimana menghadapi situasi seperti itu. Itu yang pertama kalinya. Dia cerita, saya dengarkan. Saat saya mulai merasa sangat tidak nyaman, jarak ke rumah saya sudah dekat. Saya merasa tidak perlu memburu-buru. Saya takut dianggap berlebihan. Mungkin saya yang salah.

Saat itu, dia bilang mau mampir ke rumah saya hari Minggu lalu. Untuk meminta tanda tangan saya di surat lembur, karena dia lupa membawanya minggu lalu. Kalau saya tidak tanda tangan, dia tidak dapat lembur. Saya bilang saya tidak pernah ada di rumah saat hari Minggu. 

Dia pernah meminta nomor telepon saya untuk keperluan surat lembur itu. Saya berikan karena awalnya, hanya untuk janjian di kantor. Tidak apa-apa. Tapi, soal ke rumah di luar jam kerja adalah langkah yang terlalu jauh. Saya tidak suka. 

Puncaknya, minggu lalu. Hampir setiap hari selama seminggu, dia ikut mengantar saya pulang bersama dua orang temannya. Itu saja sudah membuat saya merasa tidak nyaman. Buat apa ada sopir sampai tiga orang? Dan malam itu, saya ketiduran di mobil. Tentu saya tidur hanya saat masih ada teman sebelum saya. Begitu dia pulang, saya terus terjaga.

Sopir B bertanya, "Mel, kok diem aja?" Saya jawab, "Ngantuk." Sopir A mulai bertanya kapan biasanya saya terbangun. Kapan saya tidur. Apakah saya langsung tidur sesampainya di rumah. (Saya lupa bilang, sopir A suka banyak bertanya tentang transportasi yang saya naiki sebelum berangkat, pukul berapa saya berangkat). Saya bilang "Saya tidak suka shift malam." Maksudnya, karena saya tidak suka diantar malam-malam oleh sopir. 

Siang harinya di rumah, saya terbangun mendapati SMS darinya yang bilang "Happy weekend ya Mel. Maaf aku nggak enak tadi kamu sampai ketiduran gitu. Semoga kamu cepat dapat kerjaan yang lebih baik." 

Bagi saya itu pelanggaran batas yang sudah kelewatan. 

Terlepas dari urusan profesi dan jabatan (mengingat dia adalah sopir sementara saya penerjemah, dia kerja lapangan sementara saya kerja di kantor), saya tidak suka dia mencampuradukkan pekerjaan dan urusan pribadi. Apalagi, pekerjaan kami mengharuskan kami ada di mobil saat larut malam (dengan saya satu-satunya perempuan, atau dengan kami hanya berdua). Saya balas SMS-nya, "Santai, Mas. Namanya kerja ada capeknya." Mungkin salah saya. Merasa mendapat angin, dia membalas dengan SMS yang bersifat menggodai. Jelas-jelas flirting, meski diucapkan dengan jenaka. 

Pada dasarnya, saya orang yang defensif terhadap laki-laki yang mendekati saya. Bukan karena saya cantik, karena orang tidak perlu jadi cantik untuk bisa pilih-pilih. Hanya saja, tidak pernah mudah bagi saya untuk membuka diri terhadap orang baru. Saya tidak percaya ada yang benar-benar menyukai saya tanpa maksud macam-macam. Mungkin di antara semuanya, sayalah yang paling tidak menyukai diri saya sendiri. Atau mungkin itu karena setiap saya merasa mulai bisa dekat dengan orang, mereka pergi. Mungkin itu karena ruang privasi saya yang terlalu besar. Didekati, malah menganggap orang melanggar privasi.

Saya yang seperti ini, dihadapkan pada situasi di mana ada orang yang mendekati dengan terang-terangan, dalam posisi ada banyak waktu berdua, dan waktu itu ada di antara pukul 2 - 4 pagi di mana jalanan sudah sepi dan langit gelap dan di dalam mobil. Bukankah sangat wajar jika saya menjadi sangat sensitif? Sebut saya paranoid. Tidak masalah. 

* * *

Hal lain yang menyebalkan (ya, ini memang menyebalkan) adalah begitu saya cerita pada teman saya di kantor (sesama perempuan!) mereka justru menanggapinya sebagai candaan. Saat Sopir A mengindikasikan ada perasaan pada saya, teman saya bilang: "Tuh, Mel. Gimana tuh, ditanya." Saat saya cerita padanya, betapa saya merasa risih, dia bilang "Abis lo jomblo sih, Mel." Seolah jomblo adalah pangkal masalah. Seolah jomblo adalah kesalahan. Seolah jomblo adalah kekurangan. Tapi sejak kapan sih, kehidupan didefinisikan dengan status hubungan asmara? Tidakkah jadi cetek sekali tolak ukurnya? Lalu, kalau jomblo, saya harus permisif dengan ini? Okelah, jika tidak seperti itu. Katakanlah kalau jomblo, saya jadi ada yang melindungi. Ada yang memagari. Lalu, eksistensi saya kembali jadi properti seseorang. Karena bukankah paradigmanya, perempuan memang pada akhirnya jadi properti laki-laki?

Kemudian saya mengadu pada seorang teman di kantor yang selalu berurusan dengan para sopir. Dia punya pacar yang juga sopir dulunya. Dia bilang sebelum ada apa-apa, jangan langsung bilang pada Kepala Bagian. Selama belum ada kontak fisik, belum ada apa-apa namanya. Argumen bodoh. Tentunya dia tidak familiar dengan peribahasa "Sedia payung sebelum hujan". Bagus kalau kontak fisiknya hanya sebatas dicolek (meski membayangkan itu terjadi saja sudah membuat saya mual). Bagaimana jika kontak fisiknya kembali ke yang tadi: perkosaan, penculikan, pelecehan seksual? Apa dia bisa bantu jika itu terjadi? Dia bilang, banyak yang sudah mengeluh. Tolong saya jangan mengeluh lagi. Bisa-bisa para sopir itu kena dimarahi, akhirnya kita juga yang kena imbasnya jika mereka menyetir ugal-ugalan untuk balas dendam. Lagi pula, ini masalah perasaan. Bukan masalah kantor.

* * *

Batin saya berkonflik. Di satu sisi, saya merasa perempuan bisa berdiri sendiri. Saya tahu sekarang feminisme banyak yang menentang catcalling laki-laki, saya tahu feminisme banyak bicara tentang kemandirian perempuan. Tapi saya tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa dalam situasi seperti ini (pulang larut malam, sendirian di mobil), tidak banyak pilihan bagi perempuan.

Saya ingin bilang bahwa paradigma perempuan yang pulang larut malam itu bukan perempuan baik-baik, perempuan yang pulang larut malam itu mengundang bahaya pada dirinya sendiri, sebagai paradigma yang salah. Saya ingin bilang perempuan berhak merasa aman. Tapi saya harus mengakui itu semua teori. Itu semua bentuk utopia. Sayangnya, manusia tidak terbentuk dari teori. Laki-laki akan tetap memiliki lebih banyak keuntungan jika berada dalam situasi ini, karena fisik yang lebih kuat dan jaminan dari paradigma sosial bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi, itu semua salah perempuan. 

Dari kacamata paradigma ini, jika ada sesuatu yang buruk terjadi, mungkin salah saya karena saya mau shift malam. Dari awal, saya yang salah.