Saturday, January 23, 2016

Menanggapi LGBT

Boleh, ya, saya sekali-sekali sok-sok cerdas bicara tentang isu yang sedang marak di dunia ini. Tentu saja, ini sebenarnya masalah dunia pertama. Dunia yang isunya berupa isu kemanusiaan. Dunia yang tidak lagi dipermasalahkan lapar dan kemiskinan dan perang dengan negara tetangga... atau bahkan dengan sesama saudara. Ah, tetapi tidak apa. Toh isu ini sekarang sudah menjadi masalah pula bagi masyarakat Indonesia. Khususnya, dengan semakin vokalnya kaum-kaum terpelajar menyuarakan soal toleransi terhadap kaum LGBT. Apalagi, ada SGRC UI.

Saya pertama kali mendengar tentang SGRC UI dari teman saya di grup. "Di UI lagi rame bahas support buat LGBT, tuh," katanya. Lalu, teman-teman lain turut berpartisipasi dalam percakapan itu dengan memberikan gambar-gambar pamflet dan bukan pamflet yang kurang-lebih menggambarkan apa itu SGRC. Intinya, itu adalah kelompok yang mempelajari seksualitas dan membuka konsultasi/dukungan bagi yang membutuhkan. Beberapa orang di pamflet itu digambarkan sebagai bagian dari kelompok LGBT. Ada yang gay, panseksual... pokoknya segala kelompok LGBT. Oh, iya, bagi yang tidak tahu, LGBT bukan serta-merta gay saja. Banyak kelompok seksualitas lainnya.

SGRC UI kontroversial karena dua hal:
  1. Mengangkat isu yang sensitif bagi masyarakat Indonesia.
  2. Mencatut nama UI.
Untuk masalah kedua, UI segera mengeluarkan press release yang menyatakan bahwa SGRC tidak meminta izin aktivitas pada UI, dan karenanya tidak berhak mencatut nama UI. Dengan adanya press release itu, orang tahu bahwa SGRC bukan bagian dari UI.

Bagi saya dan teman teman, yang sudah belajar ilmu kemanusiaan dan cenderung terbuka/toleran terhadap LGBT, masalah sudah selesai. Kami tahu Indonesia belum siap, atau mungkin tidak akan siap, menerima LGBT sebagai hal lumrah. Tentu saja, penerimaan dan kesiapan toleransi terhadap LGBT bukan berarti lebih bagus atau lebih baik. Hanya memang karakter Indonesia yang erat dengan agama (apalagi sila pertamanya menganut Ketuhanan yang Maha Esa), tidak memungkinkannya menerima LGBT. Kami sebagai warga Indonesia yang beragama, tentu punya larangan tersendiri mengenai cinta sesama jenis (dan cinta sesama jenis adalah bentuk LGBT yang paling marak terdengar).

Namun, penerimaan dan kesiapan toleransi terhadap LGBT juga bukan berarti lebih buruk. Saya belajar tentang rasisme dan feminisme. Keduanya dimulai dari kecenderungan menuju homogenitas (saya pernah membahas ini dalam post tahun lalu). Kulit putih tidak menyukai kulit hitam karena mereka berbeda; dianggap lebih barbar, dianggap bukan manusia yang setara. Begitu pula dengan perempuan. Laki-laki beranggapan perempuan bukan manusia yang punya hak suara sebesar mereka. Karena alasan itulah, kulit hitam dan perempuan sempat dilarang memiliki hak yang sama dengan kaum satunya.

Bagi saya, kaum LGBT sekarang juga menerima perlakuan yang sama dengan perempuan dan kulit hitam. Mereka minoritas, maka diperlakukan berbeda. Kadang, saya melihat ini tidak ada bedanya dengan masalah kaum-kaum minoritas sebelumnya. Oleh karena itu, saya mengerti pentingnya toleransi dalam hal ini.

Toleransi saya, sejauh ini, berupa pengabaian. Jika saya tahu ada orang yang gay, atau ada orang transgender, saya tidak terlalu ambil pusing. Itu hidup mereka, bukan hidup saya. Siapa saya untuk menghakimi mereka? Bukan saya yang nanti akan menghisab amal mereka. Saya bukan Tuhan. Pemikiran saya ini akhirnya menunjukkan pola pikir saya yang beragama lebih ke sifat spiritualnya--hubungannya dengan Tuhan. Dalam sebagian dunia saya, orang-orang seumuran saya (20-an tahun) yang saya kenal, saya rasa kurang-lebih sama. Agama menjadi urusan pribadi yang tidak bisa dihakimi, tidak juga bisa menghakimi. Masing-masing saja.

Namun, ada juga sebagian dunia saya yang lain, dunia dengan orang tua saya dan sebagian orang-orang lain, yang tidak bisa saya abaikan. Pada bagian ini, aspek ritual agama-lah yang ditonjolkan. Katanya, jika saya biarkan LGBT, yang menurut agama merupakan penyimpangan sesat, artinya saya sama saja dengan kaum LGBT. Sama berdosanya, sama sesatnya, sama menyimpangnya. Semasa saya belajar ilmu kemanusiaan, saya sering berdebat soal ini pada ayah saya. Jadilah saya anak durhaka. Anak menyimpang. Dulu saya merasa ayah saya bodoh karena tidak mengerti. Melihat dunia terlalu hitam-putih. Apalagi jika bicara soal kebenaran.

Seiring pertambahan usia, saya mulai melihat dari kacamata ayah saya. Bahwa agama bukan sesuatu yang bisa dilepas begitu saja dari kehidupan. Saat kemarin teman saya cerita bahwa dia bertuhan, bukan beragama... saya membatin, saya pernah seperti itu. KTP saya bilang saya Islam, tapi sesungguhnya saya bertuhan. Bukan beragama. Hubungan saya dengan Tuhan adalah hubungan spiritual, bukan ritual. Tapi saya kemudian berkaca: jika saya Muslimah, saya tidak bisa hanya bertuhan. Saya harus beragama, dan beragama berarti mengadopsi juga aturan-aturannya.

Kembali ke soal LGBT. Jika begini jadinya, habislah saya dalam dilema saat menanggapi LGBT. Saya yang satu bisa menanggapinya dari sisi kemanusiaan (di mana saya melihat ketiadaan toleransi terhadap kaum LGBT adalah bentuk masalah kecenderungan homogenitas umat manusia), saya yang satu bisa pula menanggapinya dari sisi agama (paling tidak, sebaiknya mengingatkan bahwa itu dianggap menyimpang).

Belum ada solusi mengenai bagaimana menjembatani isu LGBT dengan eratnya agama di Indonesia. Mungkin akan ada, tapi saya tidak mau terlalu optimis. Saya yakin, bukan hanya saya yang menemukan masalah ini menimbulkan dilema. Kami warga Indonesia sedang belajar menemukan jalan--kami sedang bertanya-tanya tentang kemanusiaan dan tentang agama. Semoga tidak perlu ada pertentangan ekstrem jika kedua sisi itu tidak lagi bisa berkompromi.

No comments:

Post a Comment