Hai. Selamat pagi. Kamu terlihat bagus dengan baju itu. Ini sebungkus rokok yang kamu pesan. Tidak, rambutmu terlihat baik-baik saja. Jangan khawatir. Tidak ada yang aneh dengan rambutmu. Tidak, kamu tidak boleh merokok, tapi karena ini mobilmu, jadi semua terserah padamu. Aku cemas perjalanan ini akan banyak diisi dengan diam. Aku benar-benar tidak tahu akan membicarakan apa denganmu.
Ternyata kekhawatiranku tidak beralasan. Aku lupa kamu adalah orang yang punya segudang hal untuk dibicarakan. Kamu, orang yang dilahirkan untuk berada di atas panggung; bahkan jika panggung itu hanya memiliki satu penonton. Aku. Kamu pikir kita cocok menjadi penyiar radio? Kadang aku bertanya-tanya apa kamu menyadari tatapan orang terhadap kita. Apa kamu memikirkan hal yang sama denganku. Apa kamu juga sadar teman-temanku akan diam-diam mensyukuri kita semobil, akan menyadari aku senang berdua denganmu. Apa yang ada dalam pikiranmu?
Kamu lapar? Kita harus mencari tempat sarapan dulu. Silakan saja berhenti di Rest Area itu. Aku tidak lapar, tapi aku haus. Baiklah, aku akan menunggu di toko kelontong. Sudah? Sudah siap mencari makan? Kamu mau roti Starbucks? Tidak? Bagaimana dengan roti di toko kelontong? Kamu tidak mau roti? Mungkin mau beli gorengan? Oh, kamu mau mie ayam. Silakan saja beli. Aku tidak lapar. Minuman ini untukku? Lihat betapa berubahnya kamu sejak empat atau lima tahun lalu kita saling mengenal. Apa kamu sadar betapa manisnya yang kamu lakukan ini?
Mari kita berangkat lagi. Aku tidak tahu kenapa aku membicarakan dia. Tadinya ini pembicaraan yang menyenangkan, tapi kamu membuatnya menjadi seperti sidang bagiku. Kamu benar, aku memang menjadikan dia tolak ukur. Kamu benar, aku merasa rendah diri darinya. Kamu benar, meski berat bagiku untuk mengakui itu. Apalagi terhadapmu. Haruskah kamu mengatakan itu? Haruskah kamu memaparkan aku pada perasaan-perasaan buruk yang ingin aku kubur? Aku tahu ini caramu untuk membangkitkan semangatku. Tapi itu pukulan yang keras bagiku karena kamu tidak tahu bagaimana perasaan itu bermula.
Oh, hai. Halo. Senang rasanya bertemu orang lain, tapi jangan berjalan lebih dulu. Aku ingin tetap bersamamu. Tapi aku juga tidak mau terlihat terlalu lengket denganmu. Kurasa itu sebabnya aku terus mendebatmu.
Aku mau pulang. Sungguh, tidak harus denganmu, tapi barang-barangku ada di mobilmu. Kalau kamu masih mau bersama yang lain, aku sungguh tidak apa-apa. Lihat? Seseorang bahkan menawariku pulang bersamanya. Aku tidak apa-apa. Baiklah, kamu juga mau pulang. Aku perlu pulang sekarang. Aku harus pergi lagi. Kamu kapan mau pulang? Apa lebih baik aku pulang sendiri? Tidak? Baiklah, kalau begitu, ayo pulang sekarang. Aku mendapati debat denganmu ini lucu. Tapi aku sungguh harus pulang. Baik, ayo pulang sekarang.
Untuk apa, tanyamu? Aku membawa tas besar ini karena kukira tidak mungkin kamu mau langsung pulang. Aku sudah siap pulang naik kereta. Tapi terima kasih sudah mengantarku pulang. Kurasa kamu memang berbeda. Perasaanku terhadapmu memang berbeda daripada yang kurasakan untuk mereka. Tapi... bagaimana? Kamu adalah buku yang sudah kututup bertahun-tahun lalu. Aku rindu. Sangat rindu. Aku merindukan semuanya darimu. Tapi membuka kembali buku yang sudah tertutup mengundang sakit. Apa kamu sepadan dengan sakitnya?
No comments:
Post a Comment