Friday, December 26, 2014

Indonesians are built for drama. Or so I read. Nevertheless, it was proven when this morning I happened to watch a supposedly fun quiz show on TV stained by tears and 'sincere' prayer. I simply couldn't comprehend where the fun is anymore.

Thursday, December 25, 2014

.

So I don't listen to Arctic Monkeys or The Smiths or Joy Division. So I don't shop at Wakai or Argyle and Oxford. So I don't buy Jansport. So I don't have a tab. Any tab. So I don't listen to the radio a lot. So I don't hang out at coffee shops. So I don't watch many TV shows. So I've never been to some places. So I'm not thinking of marriage anytime soon. So I'm not in the place I had thought myself would be. So I'm not into fashion.

So my android sucks. So I live in Bekasi. So I cover my head. So I like Christmas. So I skip my daily prayers. So I still believe in my God. So I listen to mainstream pop songs. So I weigh more than most of my friends. So I work as a teacher in Indonesia. So I find people okay, even the poorest and the most countrified. So I question the superficiality of Indonesians' state of religiousness. So I still write in a diary. So I tell lame jokes. So I hate some people. 

SO?

I am my own person.

Ken, Irina dan Agama

Terkadang Ken merasa Irina ateis, dan pikiran itu membuatnya takut. Mereka tumbuh bersama dan meski telah banyak perbedaan yang menjauhkan mereka dari satu sama lain, Ken tetap takut membayangkan Irina tidak bertuhan.

Tidak, tidak tidak bertuhan, menurut Irina. Tetap bertuhan, tapi entah kenapa tidak beragama. Dan Ken takut. Dia pernah bertanya apakah Irina percaya dengan surga dan neraka. Irina tidak tahu. Irina ingin percaya, tapi Irina lebih percaya dengan hubungan spiritualnya dengan Tuhan. Teleponnya dengan Tuhan.

Ken pernah bertanya apakah Irina yakin Tuhan yang mereka sembah adalah satu-satunya Tuhan semesta, dan agama mereka adalah agama yang paling benar. Irina berkata kebenaran itu subjektif. Penganut agama manapun akan merasa agamanya yang paling benar.

Lihat? Hal-hal seperti itulah yang membuat Ken takut.

Takut Irina sudah terlalu jauh dari agama. Karena Ken sendiri tidak tahu batasan kafir. Ilmu agamanya masih kurang. Tapi Irina selalu percaya, selalu mengimani adanya Sang Pencipta. Hanya saja, keimanan itu tidak dibatasinya pada satu lingkup agama - tidak dibatasinya pada ritual-ritual ibadah.

Tuesday, December 23, 2014

The Whole of Two Haikus

#1
Grey winter sky hid
the sun and stars and glory
But now - it is spring!

#2
For the boy, the rain
fell; flowers bloomed; animals
sang; nature, too, smiled

Monday, December 22, 2014

A quick update!

I rent a new room at a kosan near my work place. It's so unexpectedly near, thank God. Rumah Ungu: that's how they named it. Oh, the possibility of living by myself thrills me. You know, almost four-and-a-half year ago, I freaked out at the thought of living away from my parents. It was a blessing that I shared the room with a high school friend, Zera - we faced the new world basically almost just the two of us before Fara came along. And then there was Efa. And Kak Imel. And Kak Ncha. And Kak Sylvi. And suddenly I grew accustomed to that world. And now here I am, faced with yet another chance of starting a new world - thrilled, not freaked out. It's a huge step-up.

Speaking of an accustomed world, I had another one from which some of us graduated last August. And after some period where it seemed our clock stopped ticking (interview rejections, ignored CVs, self-doubts, complaints, me-times, karaokes), Dimas got himself a new job at a public relation company. Then Jessica and her marketing training (from which she finally resigned). Then me with my English-teaching profession. And just today, Fajar received an official statement that he passed the entrance exam for his Master program. He'll be studying social psychology - a good major for him, I should say, because despite his intense interest in the feminism, psychoanalysis, pop culture and philosophy we learnt in English studies, it didn't seem he truly fit in. I'm sure this path leads everywhere he's meant to be. Meanwhile, Marco helps his mother out at school in their neighborhood and Ruth is working her way with her translation projects. Our clock is back on track.

You know what? I used to think there would be no pause in our clock. Life was so amazing back at college, and that was only a term ago! But eventually it paused. I guess that's just how life is. You think the ride will never end, but it's a given that it will.

I don't know, could the others also think this way? Could Rendy, Efa, Rizky and Nirma also feel this way, too? Or will they find their clock halt to a pause, too, afterwards? And will they also find that this boat called life take you to unplanned places? I did. I believed I have mentioned how I had never pictured myself as a teacher, not to mention educator. Whoa, the burden on that word alone.

But, well, after all... doesn't it mean I'm starting a new ride to another new world? I might as well prepare myself. Who knows I might enjoy it even better? ;)




Or if I should fall, at my age, this ride can still be restarted and restarted.




But then again, let's just not wish for a fall. It's wiser this way.
You don't know how much it kills me. Feels like my lifespan just shortened. And all that, while it's yours to worry; not mine.

Wednesday, December 17, 2014

Islamku (2)

Saya sedih. Sungguh. Bicara tentang Islam di Indonesia, sulit sekali untuk tidak berduka. Sulit sekali untuk tidak bingung.

Bukan kapabilitas saya untuk bicara tentang yang benar dan salah dalam Islam karena sekalipun saya menganutnya dari lahir, saya belum mempelajarinya dengan benar. Referring to my previous post about this, anyone can tell that Islam for me is a given. Karena itu, siapapun yang kebetulan telah lebih baik berkenalan dengan Islam kemudian kebetulan membaca tulisan saya ini bisa jadi akan mengerenyitkan dahi dan mencibir: "Kalau begitu, tidak usah bicara tentang Islam. Tulisan ini tidak akan valid. Tahu apa dia tentang yang dosa dan yang tidak?" Tidak apa, mungkin akan ada yang salah dalam tulisan saya.

Karena itu, saya akan bicara sebagai manusia saja. Sebagai manusia yang kebetulan lahir beragama Islam, dan yang kebetulan tempat lahir serta tumbuhnya di Indonesia. Di sekitaran Jakarta. Tentu saja, sebagai manusia yang penuh subjektivitas, tulisan dan pemikiran saya akan harus dimaklumi. Toh memiliki pemikiran yang berbeda merupakan sifat yang manusiawi, 'kan? Silakan, silakan katakan saya hanya berusahan menjustifikasi. Saya akan kembali pada argumen saya mengenai manusia.

Jadi, kenapa saya sebagai manusia berduka dan bingung saat bicara tentang Islam di Indonesia? Ah, ya, karena saya bernostalgia pada masa saya mengenal Pancasila. Kira-kira saat itu saya masih di sekolah dasar. Satu-satunya sila tentang Tuhan adalah "Berketuhanan yang maha esa." Kemudian, saya bernostalgia tentang masa saya mengenal undang-undang. Oh, ya, ada enam agama yang diakui. Salah satunya, ya, Islam itu. Lalu, karena saat itu saya bersekolah di sekolah Islam, pikiran saya turut bernostalgia tentang saat-saat indah saya belajar menghafal surat pendek. Surat Al-Kafirun. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Setelahnya, kenangan saya sepertinya dipercepat, dipercepat, dipercepat hingga yang saya ingat hanya bahwa saya berpegang pada tiga titik kejadian itu.

Kehidupan setelah itu sepertinya baik-baik saja. Karena bersekolah di sekolah menengah negeri, saya berkenalan dengan teman-teman yang menganut agama lain dari saya. Selama itu, tidak pernah sekalipun saya dengar orang tua saya berkomentar pedas, "Jangan berteman dengan orang beragama X, Y, Z, yang bukan Islam." Paling banter saya dilarang menjalin hubungan cinta dengan mereka karena toh pernikahan beda agama diharamkan di Islam. Tidak apa. Sungguh berbeda dari kenangan saya akan guru di sekolah dasar yang sempat berkata, "Jangan mendengarkan lagu barat. Haram! Soalnya mereka orang-orang Nasrani." Orang tua saya tertawa mendengar saya bercerita tentangnya. Jangan dengarkan dia, kata mereka. Tidak ada hubungannya antara lagu barat dan agama. Lagu ya lagu, agama ya agama. Ngomong-ngomong belakangan saya tahu bahwa ada juga kok orang Islam yang berbahasa barat. Ya mau bagaimana lagi? Islam pun asalnya bukan dari Indonesia.

Nah, mungkin sekarang kalian berpikir kenapa saya berputar-putar. Mungkin ada juga di antara kalian yang berpikir: "Argumen tentang lagu barat itu goblok. Ya jangan disamain dong lagu dan masalah kita sekarang!" Oh iya, sebelum kalian bertanya-tanya masalah apa yang sedang saya bahas sampai berduka begini sekarang, lebih baik saya bilang bahwa saya sedang menyinggung permasalahan atribut natal yang kebetulan saat ini lagi jadi topik panas. Padahal, mah, masalah toleransi Islam ada saja sepanjang tahun. Ya, jadi kalian bisa saja berpikir "Meski kami melarang atribut natal, kami tidak akan melarang berteman dengan orang beragama Kristen kok! Agama yang lain juga tidak!"

Begitulah. Sekarang kalian tahu kenapa saya berduka. Kurang jelas? Yah, karena sekarang tidak lagi terlihat bahwa pelarangan atribut natal itu memiliki wacana lain di baliknya. Terkadang kita lupa bahwa Islam pun memiliki hari raya besar. Idul Fitri. Lebaran. Saat itu, hiasan ketupat bergantungan di mana-mana. Lagu-lagu Islami diputar di pusat pertokoan. Tidak masalah. Baju Lebaran bertebaran; diskon, katanya. Pegawai pertokoan berkeliling lengkap dengan baju koko dan baju panjang. Bisa jadi sekarang akan ada yang berpikir, "Oh, ya iya lah! Kan Lebaranan." Ya, memang. Jadi, apa bedanya dong dengan diputarnya lagu natal saat menjelang natal? Hiasan natal dan pohon natal menyambut di lobi pertokoan saat bulan Desember? Pegawai pertokoan dengan topi sinterklas?

"Ya beda, mereka tidak memiliki toleransi terhadap yang beragama lain itu namanya!"

Saat begitu baru, deh, keluar pembicaraan tentang toleransi beragama. Padahal apalah bedanya dengan penganut Islam yang begitu hebohnya mau menandai Lebaran sudah dekat? Nah, kalau berani bicara begitu, akan dibilang anti-Islam. Double standard.

Bukan Islam yang salah, bukan Kristen yang salah. Bukan agamanya. Terkadang, dan saya harap hanya terkadang, penganutnya lupa. Merasa yang paling benar, merasa yang berhak didengar. Dan juga, terlalu fokus pada yang kasat mata. Akibatnya jadi tidak jauh berbeda dari argumen tentang lagu barat. Akhirnya, tidak ada bedanya dengan menyuruh kami-kami yang manusia ini jadi anti terhadap satu sama lain yang berbeda. Kemudian, saya merasa ada tendensi penganut-penganut tertentu lupa bahwa menjadi mayoritas bukan berarti suaranya mutlak. Tentu saja, toh disebut mayoritas karena ada minoritas, 'kan? Yah, namanya manusia perlu diingatkan. Saya yakin siapapun yang telah berkenalan dengan Islam lebih baik daripada saya akan tahu bahwa tidaklah dibenarkan mayoritas menggilas yang minoritas. Memaksa. Membenci. Karena bukankah Islam agama yang penuh kasih sayang?

Sekali lagi, di sini saya bicara sebagai manusia saja. Terlalu riskan kalau bicara atas nama Islam, bahkan hanya dengan membawa-bawa namanya. Karena itu, saya harap pembaca dapat menempatkan diri sebagai manusia juga. Mungkin bisa menjadi manusia yang lebih beragama daripada saya, tetapi tetap manusia. Satu. Subjektif. Mohon jangan dibaca dengan pemikiran kolektif, karena apa yang saya katakan belum tentu benar sifatnya secara kolektif; begitu juga dengan yang kalian pikir. Kembali lagi, kebenaran sifatnya pribadi, kan? "Salah, kebenaran mutlak adalah milik Islam!" Nah, ini kalau diteruskan akan jadi terlalu panjang. Jadi, saya akan berhenti. Sebelumnya, izinkan saya bilang bahwa bagi saya yakin kebenaran mutlak adalah milik Islam - bagi saya. Dapatkah - dan perlukah - saya memaksa teman-teman saya yang berbeda untuk setuju? Tidakkah akan sama jadinya dengan memaksakan bahwa tulisan saya ini benar adanya pada kalian yang menolak percaya?

Tuesday, December 16, 2014

Season

the change of season
turns hearts restless, expectant
though beauty awaits
You don't have to, so I won't have to. But what can I do? I hope a sincere prayer will do, so you don't have to.

Bayang

Mengejar bayangmu. Yang seharusnya tak perlu kulakukan, mengingat aku diberi satu tahun mulai duluan meski usia kita tak jauh berbeda. Kamu yang cantik, populer, pintar, selalu lebih disukai... ah, aku jadi klise. Tetapi toh memang kamu cantik. Siapa tak kenal kamu? Siapa tak suka kamu? Kamu pun pintar. Dilihat dari ranking, daridulu papa mama kita saling memamerkan rapot, kamu selalu meduduki peringkat pertama. Tak peduli meski papaku menolak mengakui, aku sadar kamu memang lebih pintar di sekolah. Soal kamu lebih disukai pun benar, walau sudah lama kuabaikan penilaian sepupu-sepupu kita yang lain. Toh aku memang dari keluarga yang berbeda; keluarga yang bermasalah di sini, kaku di sana, kurang kaya, tidak sama miskin. Jarak, jarak, jarak. Tidak masalah. Kutemukan keluargaku di luar. Keluarga pilihanku.

Aku kesal kamu harus terjun ke dunia kerja di saat yang nyaris bersamaan denganku. Kenapa, sih? Kenapa harus di waktu yang berdekatan begini? Lalu kamu dengan mudahnya mendapat pekerjaan impianmu. Pekerjaan yang memang bukan minatku, tetapi bergengsi. 'Kan, kedengarannya jadi seolah kamu orangnya sophisticated sekali. Citramu sudah bak perempuan modern. Terbayang olehku, dan aku yakin oleh siapapun yang mendengar nama pekerjaanmu, kamu dengan setelan blazer licin dan rok sepan selutut. Sharp sekali. Perempuan modern.

Pekerjaan itu bukan impianku. Dulu kukira begitu, tetapi kurasa lagi - ah, tidak. Dan aku ini orang yang sangat mengikuti perasaan. Mengikuti intuisi. Dulu kubilang aku tak akan mau jadi guru. Nyatanya? Profesiku sekarang adalah guru. Mulai bekerja Januari nanti. Aku tidak menyesal menjadi guru. Profesi itupun kupilih bukan karena aku tidak punya kesempatan lain; ditolak di mana-mana. Karena nyatanya tidak begitu. Tetapi kalau kemudian kita datang ke arisan keluarga, ke lebaran, orang akan bilang "Wah, hebat dia kerja di media X." Bukan guru. Kalaupun akan membahasku, orang akan bilang "Kamu kerja di tempat Tante Y sekarang? Enak dong, bareng Tante Y." Aku curiga ayahku pun minder aku jadi guru meski dikatakannya guru pekerjaan mulia dan keluarga ini banyak yang jadi guru.

Kamu 'kan, bayangku. Aku mataharimu. Aku duluan yang jalan, baru ada kamu. Kenapa, dong, kamu lebih bersinar daripada aku? Jangan-jangan, tanpa sadar aku sudah ganti jadi bayangmu. Hitam, gelap, hanya ada kalau kamu ada tetapi hanya sebagai penguat eksistensimu. Jelek, semakin aku mendengarkan ocehan yang lain. 

Aku bahagia dengan pilihanku menjadi guru. Aku tidak cocok di tempat lain. Aku senang dengan kurikulum yang ditawarkan. Aku tahu ini tempat baik. Aku bisa berkembang di dalamnya. Lagipula, tidak ada yang bilang pekerjaan ini rendahan. Tidak ada juga yang bilang pekerjaanmu lebih bagus. Tetapi kenapa aku merasa begini? Minder. Lagi-lagi minder. Tidak sempat barang sedetikpun aku merasa apapun yang kuraih berharga di hadapanmu. Karena apalah aku, berjarak dari keluarga besarku. Mau aku kentut berlian juga apalah artinya. 

Lihat.

Pikiranku yang menjadikanku bayangmu. Aku toh tidak harus hidup dengan mereka selamanya. Keluargaku yang benar adalah mereka yang kupilih. Ayah-ibuku baik padaku, adikku baik padaku. Selamanya hidup terasing dari keluarga besarku pun rasanya tidak apa. Toh seperti agama, aku terlahir sudah memiliki mereka. Bukan aku yang minta. Kalaupun mereka tidak suka ya tidak apa, kubebaskan mereka dari keharusan hidup bersamaku. 

Biarkan aku hari ini mencaci. Mulai besok, aku akan berhenti menjadi bayangmu.

Monday, December 15, 2014

August Sky

a clear august sky
day, it is bright and bluish
night, it is starry

Islamku

"Oh, Sanders, aku menjadi Buddhis karena terjebak dari lahir. Tidak pernah aku mempertanyakan beda ini dan itu. Kenapa, misalnya, di tempat pemujaanku Buddha Shakyamuni bersanding dengan Dewi Kwan Im dan Khong Hoe Tjoe? Kenapa bukan dengan-- Khong Guan? Ampun, Tristan. Aku ini tidak tahu apa-apa." (Dee, 2002: 150)

Saya tahu. Judul yang saya pilih "Islamku", kenapa kutipannya berbunyi tentang Buddhisme? Ah, tetapi betapa kutipan ini menyuarakan isi hatiku!

Supernova: Akar. Bukan buku baru, tetapi saya adalah pembaca barunya. Sungguh senang saya menemukan perjalanan karakter Bodhi menggemakan dilema yang meresahkan saya. Salah satunya, ya, permasalahan agama ini.

Terlahir sebagai Islam. Menjalankan ritual sehari-hari juga berdasarkan ritual Islam, meski saya tidak bisa bilang ritual-ritual itu dilaksanakan dengan sempurna. Namun, seberapa Islam-kah Islamku? Apakah Islam yang Islami atau sebagai pelengkap kolom agama di KTP? Apa saya Islam karena orang tua saya Islam?

Seberapa tebal iman saya terhadap entitas yang disebut Allah, Nabi Muhammad SAW, Al-Qur'an, dan sisa daftar rukun iman?

Berimankah saya atau hanya sekadar menghafal rukun iman?

Terus seperti itu, hingga akhirnya berujung pada pertanyaan: seperti apa Islamku? Dulu pernah ada masanya saya menikmati Kisah 25 Nabi, meresapi setiap katanya, menganggapnya indah. Entah indahnya apa dan di mana, yang jelas hati saya tenang pada masa itu. Mungkin karena saya masih kecil, tidak banyak berpikir.

Lalu saya tumbuh. Sempat menganggap sholat merepotkan; mengganggu hiburan duniaku. Terlebih lagi, sholat menjadi kewajiban yang tidak ada bedanya dengan sekolah. Tidak ada yang suka hal yang wajib. Orang tua saya bawel menyuruh sholat. Saya juga sempat meninggalkan mengaji karena saya takut dengan ujian hafalan yang kalau gagal hukumannya adalah malu. Rasa malu terlalu berat untuk saya tanggung.

Tetapi kadang saya temukan juga Tuhan kalau hati saya sedang nyambung dengan sholatnya. Kemudian sholat menjadi hal yang sangat pribadi bagi saya. Koneksi telepon saya dengan Tuhan yang kalau ada orang lain tidak akan nyambung. Yang kalau tempatnya salah tidak akan terhubung. Yang kalau bukan karena keinginan sendiri tidaklah afdol. Salahkah? Hal yang sama terjadi dengan mengaji. Salahkah? Tentu salah, kalau berkiblat pada aturan ritual-ritual Islam. Sholat ya ada waktu-waktunya yang sudah ditentukan. Bukan suka-suka sendiri. Mengaji pun makin banyak makin baik. Lebih baik lagi rutin. Tidak apa-apa tidak mengerti artinya, yang penting mengaji saja dulu. Allah akan menghitung pahala kita.

Pahalakah yang saya kejar? Saya tidak tahu. Seperti halnya kehidupan, terkadang orang berpatok pada gaji. Pahala itu gaji ritual-ritual Islami. Tetapi seperti halnya saya menjalani hidup, saya lebih mengejar kepuasan spiritual. Kebahagiaan. Jadi saya lebih mengejar mengerjakan ritual-ritual itu untuk memuaskan batin saya, yang tidak selalu cocok waktunya dengan waktu-waktu yang sudah ditentukan. Salahkah saya? Saya tidak tahu. Mungkin demikian. Saya mungkin telah menuhankan batin saya sendiri.

Atau mungkin Tuhan menuntun saya dengan cara-Nya sendiri. Membisikkan pada saya letak diri-Nya agar dapat saya temui. Siapa yang tahu? Toh saya tidak merasa saya Islam KTP. Meski demikian jarangnya saya sholat dan mengaji, saya tidak merasa saya Islam KTP. Saya imani bahwa Islam dapat membawa saya ke masa-masa indah Kisah 25 Nabi. Ke masa-masa sarat kebaikan hati. Tetapi sekarang ini mungkin caranya untuk saya tidak dengan menggembar-gemborkan keislaman saya. Tidak juga dengan rutinitas ritual.

Karenanya, saya ingin sekali belajar. Berkenalan dengan Islam, dan bukan hanya tentang baik-buruk, pahala-dosa, hitam-putih Islam, melainkan juga tentang habluminallah-nya. Hubungan manusia dengan Allah. Lalu habluminannaas. Hubungan manusia dengan sesama manusia. Sesuatu yang tidak bisa saya dapatkan di Indonesia yang penuh dengan amarah Islam sebagai agama mayoritas.

Saya ingin belajar Islam layaknya seorang mualaf. Atau mungkin saya memang mualaf di hati?

Saya tidak tahu.


Daftar Pustaka:
Dee. 2002. Supernova: Akar. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Terima Kasih, Hamka

Sepertinya saya harus berterima kasih kepada sang penulis Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck yang kini namanya semakin harum dengan diangkatnya buku tersebut ke layar emas. Sejak saya membaca tulisan Hamka yang tersohor itu - ya, kisah si kapal VanDer Wijck itu sendiri - saya kembali jatuh cinta kepada bahasa Indonesia.

Cara saya mengenal Hamka memang sedikit berputar-putar karena saya dulu tidak berkiblat pada sastrawan-sastrawan besar Indonesia. Sedari dulu, saya lebih akrab dengan Jane Austen dan Danielle Steele. Itupun tidak saya jelajahi benar seluruhnya. Hanya yang saya kebetulan tahu cukup terkenal di kalangan pecinta sastra Inggris klasik. Pride and Prejudice, misalnya. Kemudian dengan masuknya saya ke jurusan Sastra Inggris, saya semakin mengakrabkan diri dengan penulis-penulis barat dan karya-karya sastra asing. Bahasa Inggris dengan bentuk kalimatnya. Budaya di balik kata-kata.

Empat tahun lamanya saya mengasingkan diri dari bahasa Ibu Pertiwi. Beranggapan bahasa Indonesia jelek; novel terjemahan jelek. Saya dengan angkuhnya memilih membaca novel berbahasa Inggris yang lebih asli dan esensinya lebih tersampaikan. Tanpa bermaksud mengecilkan pekerjaan penerjemah - karena toh saya sendiri sekarang dan semenjak satu setengah tahun yang lalu berprofesi sebagai penerjemah freelance - saya hingga kini tetap mendapati sebuah novel lebih bagus aslinya daripada terjemahannya. Namun, kemudian saya bertemu Hamka.

Hamka, yang pada awal saya baca tulisannya begitu aneh. Menggelitik. Kental sekali terasa bahwa kalimat-kalimat itu tidak dimaksudkan sebagai bahasa tertulis, melainkan bahasa lisan.

Hamka, yang tata cara penulisan kalimatnya berantakan tidak sesuai EYD. Ah, tapi Hamka telah hidup jauh sebelum EYD lahir.

Seusai saya baca Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck, saya jadi haus akan bahasa Indonesia. Bukan berarti saya tidak lagi menyukai novel berbahasa Inggris, bukan. Saya hanya merasa saya harus mengejar ketertinggalan selama empat tahun. Atau mungkin malah ketertinggalan seumur hidup saya? Saya merasa menemukan sesuatu yang tidak pernah saya sadari hilangnya.

Saya amati bahwa, dari tulisan Hamka, permasalahan budaya dan adat di Indonesia memang jadi tema yang lumayan bisa banyak dikulik. Sengketa bak Romeo & Juliet-nya Shakespeare. Lalu, eksplorasi alamnya. Alam Indonesia yang kaya. Suku dan budaya yang ragamnya seperti konfeti, berwarna-warni yang keindahannya diperkuat dengan keragamannya. Bukan untuk dilihat satu-satu.

Kemudian saya baca Akar, jilid dua dari serial Supernova Dee Lestari. Meneruskan kembali jeda lama dari kali pertama saya baca Ksatria, Sang Putri, dan Bintang Jatuh. Berkenalan dengan penulis Indonesia yang bisa juga mengangkat isu yang lebih mendalam dibanding masalah sosial yang kasat mata. Isu pikiran. Isu manusia. Manusia sebagai manusia, bukan hanya sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. Saya sadar Dee termasuk penulis modern. Maju dari jamannya.

Namun, Hamka tidak lebih buruk dari Dee dan Dee tidak lebih buruk dari Hamka. Membaca keduanya, membandingkan keduanya, saya jadi ngeh bahwa Indonesia bisa begini: memiliki dua jenis tulisan di mana yang satu kuat dalam mengangkat isu kekayaan budayanya, sementara yang lain sanggup bersaing dalam dunia intelektual. Ini Indonesia. Tidak ada yang lebih baik atau buruk; keduanya sama masih dapat berkembang.

Saya ingin begitu. Ingin ambil bagian dalam perkembangan sastra Indonesia. Ingin bisa mencoba menjajaki dunia dari mata Hamka dan dari mata Dee. Ingin bisa mengisahkan Indonesia dengan mulut Hamka dan dengan mulut Dee. Ingin menulis. Membawa Indonesia ke potensi terbaiknya.

Menurut saya, Indonesia saat ini masih seperti kata Hamka,
"Di tanah Indonesia ini, umur kesusasteraan belum lagi tinggi. Perhatian orang untuk memperindah bahasa negerinya masih baru. Sebab itu amat sulit jalan yang ditempuh oleh pengarang. Belum banyak orang yang kenal kepada buah penanya." (Hamka, 1961: 155)
Tetapi tidak ada alasan untuk pesimis, karena toh 72 tahun dari kali pertama Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck diterbitkan, muncul penulis hebat seperti Dee. Rentang waktu yang tidak sebentar, tetapi toh tetap ada. Dan sebelum Dee, banyak lagi penulis-penulis Indonesia yang mengisi periode tersebut.

Maka dari itu, terima kasih, Hamka - setelah perkenalan dengannya, saya jadi kembali peduli dengan dunia kesusasteraan Indonesia. Saya jadi kembali haus akan bahasa negeri sendiri. Terlalu lama saya melayang-layang dengan bahasa yang efektif, berguna sekaligus indah dengan caranya sendiri, tetapi tetap bukan milik saya dan bukan dengan apa saya dibesarkan. Hampir saya menjadi seperti kacang lupa kulit, tetapi tidak. Saya masih bisa kembali berkenalan dengan sastra negeriku.


Daftar Pustaka:
Hamka. 1961. Tenggelamnya kapal VanDer Wijck (Cetakan ke-8). Jakarta: Penerbit Bulan Bintang

Sunday, December 14, 2014

Saturday, December 13, 2014

Dandellion

now the flower blooms
a dandellion, that is
floating after him

Friday, December 12, 2014

Spring

the spring comes and goes
in front of my watching eyes
it seems I am late

Thursday, December 11, 2014

Biggest Villain

Gerald berjalan menuju tempat pembuangan sampah. Sebuah cerita lagi yang dibuang…, batinnya mengeluh. Beberapa hari ini otak Gerald bagaikan knalpot yang tersumbat debu. Lama-lama Gerald bisa meledak.

Kantung hitam berisi bola-bola kertas (jangan bayangkan sesuatu yang indah, itu tidak indah dilihat, percayalah) dilempar ke dalam tempat pembuangan sampah. Gerald tahu beberapa menit lagi truk sampah akan lewat dan mengambil kantung-kantung yang ditumpuk selama satu minggu.

“Kenapa Gerald, kenapa?”

Gerald mendesis dan menggeram pada dirinya sendiri, lebih karena frustrasi daripada karena mulai gila.
Belakangan ini pikirannya tersita oleh Ayumi, cewek yang baru pindah bersama keluarganya di ujung jalan.

Saat Gerald pertama menyadari perasaan itu, dia membayangkan adegan-adegan romantis yang meliputi kencan di pinggir pantai (cheesy, yeah). Tapi apa yang benar-benar bisa dilakukan cowok berusia 10 tahun yang ambisius?

Gerald selalu terfokus pada mimpinya menjadi penulis. Cewek? Ha-ha. Tidak ada penggapai mimpi yang butuh cewek. Cewek hanya gangguan yang banyak bicara dan merusak konsentrasi… dan entah kenapa cewek selalu memaksa cowok untuk berperan jadi ayah yang bertanggung jawab dalam permainan rumah-rumahan mereka. Oke, kau tahu? Gerald punya teori untuk itu: biarkan cowok mencapai dulu mimpi-mimpinya baru dia bisa jadi ayah yang bertanggung jawab. Dalam hal ini, mimpi Gerald menjadi penulis (yang dalam bayangannya akan jadi sangat kaya dan terkenal).

Gerald kembali ke kamarnya.

Aneh, monster-monster di kepalanya tidak mau keluar. Biasanya itu yang menjadi petunjuk bagi Gerald untuk menulis. Gerald akan memegang kuasa atas monster-monster itu dan menempatkan mereka dimana saja dia suka. Tapi karena kali ini mereka tidak mau keluar, Gerald coba mengecek pesawat tempur dan tentara-tentaranya…

Ya, mereka juga tidak ada. Aneh. Hm, mungkin astronot-astronot berbekal spaghetti darah akan ada.

Biasanya mereka selalu ada.

…Ups, lagi-lagi hening.

Aneh. Kemana mereka semua?

Gerald mengecek dan mengecek ulang isi otaknya, berhati-hati jika mendadak salah satu dari mereka muncul. Tapi tidak ada yang muncul kecuali wajah Ayumi.

“Sial!” keluhnya.

Gerald menggerakkan jemarinya di keyboard, berharap apapun bisa muncul saat dia secara sembarang mengetikkan kata-kata.

Lalu itulah saat Gerald mulai menuliskan tentang Ayumi. Senyum Ayumi. Wajah Ayumi. Wangi Ayumi. Semuanya tentang Ayumi. Dan untuk pertama kalinya Gerald merasa menulis seperti sedang menyanyi.
Saat akhirnya tulisan itu jadi, Gerald merasa berpuas diri. Dia ingin menunjukkan pada Ayumi sebuah mahakaryanya.

“Ya?” Ayumi menyambutnya.

“Baca ini,” ujar Gerald dengan bangga.

Hanya membutuhkan waktu beberapa menit sebelum Ayumi selesai membaca.

“Kau membuatku mati di akhir cerita? Oh, Gerald, dasar cowok! Ini menjijikan!”

Gerald sekarang yakin cewek adalah penjahat terbesar abad ini.

[fin]

Catatan: Ini adalah cerita yang saya tulis di tahun pertama saya kuliah.  

Haiku

I've known the existence of haiku for long, but it's not until recently that I understand its rules. Now that I am familiar with it, I'm experimenting on my own haiku.

The thing with haiku is that instead of rhymes, it has 5-7-5 rule. The numbers stand for the number of syllables in each line, three lines for each haiku. The theme is (usually, I guess) the Mother Nature, though I'm not sure how strict this last rule is.

I've tried writing five haiku. They're open for interpretation, but each holds a special meaning for me. Now, since showing them all at once would not be interesting, I will publish one each day starting from the next one.

It's time that I find Ed Sheeran's Thinking Out Loud makes me smile.

It's time that I, once again, want to be the She for Elvis Costello.

It's time that I'm not bored watching those '80s chick-flicks.

It's time that I want John Hughes to direct my life.

It is time. 

The Girl

A girl runs off the hill, panting. Bewildered.

Her time was frozen and she lost track of it. She hasn't prepared anything, but in front of her were numbers of paths. Roads traversed. Guidance. Street signs. But she fears them. She doubts the future it brings, for she knows once she sets foot, her life will change forever. That first step, away from everything she knows, from everything she holds dear; she dares not take.

But time is ticking.

She's not alone. There are others as scared as she. Others, with the same frightened look in their eyes. But the decision to take one road is up to each other to make. For now, she grabs a hand of someone close. Firmly; tightly, they link their arms but she knows she can't forever cling on him. They have to part ways. He's, too, a part of something losing. He's too, might be swallowed in the whirl of time. Besides, there's something different in the way he looks.

He's scared, but unlike her, he doesn't hate the idea of deciding. He's eager to know where the road will take him. She hates him for that.

She hates him.

And she fears him.

But only the insecurity and ambition she feels when he's around that keeps her going. He's small-built, but he looks like a giant mountain to her eyes. It only scares her even more.

He takes the first step to another set of paths. Before she realizes, she's dragged along. Then, a light dawns on her. She's not clinging on him; he's pulling her. With those frightened yet determined eyes, he pulls her forward.

***

note: I've actually published it on my tumblr [findingmelati.tumblr.com] under the title "That Girl", but this story means so much to me that I can't help but to publish it here. There's no significance of the title, though. . . I'm just bad at titles and idk if there's more suitable title for this piece of writing. 

Disillusioned

I miss the idea
Of you and what we can be
I wish you do, too

Monday, December 8, 2014



Yang sekarang ada ini cukup. Seperti ketika saya sedang kesal kemudian dihubungi olehmu membuat saya tahu bahwa yang sekarang ada ini cukup. Ketika saya diam kemudian teringat bahwa saya bukan lagi pengangguran membuat saya tahu bahwa yang sekarang ada ini cukup. Saya lihat kamar sebelah dan ada kedua orang tua saya tertidur, keduanya menyayangi saya, membuat saya tahu bahwa yang sekarang ada ini cukup. Kebahagiaan sederhana yang saya rasakan ketika saya menyalakan lampu natal yang menghiasi rak buku saya membuat saya tahu bahwa yang sekarang ada ini cukup. 

Saya hanya harus lebih percaya bahwa ini cukup. 

Friday, December 5, 2014

New Job!

I got a new job as an English teacher for Garuda Cendekia middle school. I just had to share!

I didn't think I would be this excited. :)

Thursday, December 4, 2014

Review: "Reluctant Fundamentalist" by Mohsin Hamid


 

Last year, I have written an amateurish review of the Reluctant Fundamentalist movie. It mesmerized me so much that I had wanted to read the book that inspired it until recently, I was able to get my hands on the book. 

As mesmerizing as the movie, the book was a strong voice of someone almost directly damaged by the 9/11 tragedy - that is, Changez's voice. The narration was so sophisticated - that of a well-educated man with high culture - and it made me rethink my first impression of the movie. For a moment, I almost thought the movie was a vulgar interpretation of the book. What I meant by vulgar was that the movie has failed to bring the rich and sophisticated voice Changez had. It turned him into another immigrant pursuing his American dream. The very culture Changez brought with him wasn't felt. But that's the thing with interpretation; it depends on each person. I just happen to have different interpretation with the director of the movie.


By mentioning that, I have shown you how I feel toward the book. It awed me. But then again, I'm a book-person, so you can tell I'm a bit biased (for someone who discussed adaptation theory in her thesis, I have to admit the sin of comparing the book and the movie to find the better one is unforgivable - but please do! This is, after all, my preference. I will not do such thing were I to compare them in analytical term).

On the other hand, I realized many interesting things in the book, such as the possibility that Erica was the symbol of America, and so Changez's relationship with Erica symbolized his relationship with America. When I watched the movie, I was quite confused to relate the two relationships. The book gave better illustrations. The simultaneous recollections of the relationship with Erica and America was clear when it was shown that Erica suffered from severe nostalgia regarding her relationship with Chris. What followed was an explanation of how America seemed to have gone back to its postwar condition with the patriotism and devotion after the 9/11. (Considering this, the way Erica used Changez as her model/art object in the movie might meant that that was how America treated the Pakistanis after the tragedy: as something distant, something observable, displayed in the name of preservation. Erica in the movie, after all, seemed to have wanted to preserve her relationship with Changez.)

Another thing I realized is the significance of beard (outer appearance) of a certain race. I have read an analysis on Reluctant Fundamentalist about how beard has something to do with forming your identity, not just a facial accessory. It's a blessing that the world today seemed to not consider outer appearance as a matter so huge. . . since things like prejudice and stereotyping are now our concern (or could it be that I'm naive? After all, I don't live in America.)

I will not go deeper into this; I'm sure someone has analyze it somewhere (or if no one has, I would explain it properly in my analysis later). All in all, the book is great and it affects me so much, both in the content and the writing style. As a person whose dream is to be a writer, Mohsin Hamid's writing style is one of those I wish to be able to use (another one is Hamka's). Who knows I might write a novel about Indonesia in such a sophisticated and rich tone? 



Jalan

Dihadapkan dengan jalan yang terbentang di depan mata, saya takut. Bukan berarti saya punya pilihan lain. Waktu saya di tanah yang sedang saya jejak ini telah habis; saatnya berpindah tempat. Tetapi memang tidak dapat dipungkiri, saya takut.

Takut apa sebenarnya? Mungkin saya takut berusaha kemudian gagal. Takut mencoba kemudian tidak cocok. Takut terjebak dalam ketidakberhasilan. Mungkin juga saya telah terlalu nyaman dengan tanah ini; yang sudah saya kenal baik tiap helai rumputnya, tiap hembusan anginnya, tekstur permukaannya. Saya mungkin takut akan menjejak di tanah baru yang mungkin akan menelan saya.

Padahal kalau dipikir-pikir, segala kemungkinan itu memiliki dua sisi. Bisa buruk, bisa juga baik. Dan selalu ada penyesuaian untuk yang pertama kalinya.

Jadi untuk apa saya gemetar, segan mengambil langkah menuju tanah baru? Buat apa saya tahankan kaki saya dari mencoba? Saya tidak akan mati karena mencoba. Sementara kalau saya tidak mencoba, selamanya saya akan hidup dalam tempurung. Pengecut yang tidak tahu-menahu selain gelapnya tempurung; berasumsi dunia sama gelapnya. Atau burung dalam sangkar yang dimanja; tidak paham enaknya terbang menantang angin karena keenakan diberi makan.

Saya tidak akan takut! Akan saya ambil langkah itu. Akan terluka jika harus terluka; terjatuh bila harus terjatuh, tetapi saya akan maju.

Tidak akan selamanya saya hidup begini saja!

Tuesday, December 2, 2014

.

Mungkin saya terlalu lama menunduk. Memandang layar bercahaya yang berhiasi kata, tenggelam dalam semesta yang dibuatnya. Memandang kertas kekuningan yang sama berhiasi kata, tenggelam pula dalam semesta yang dibuatnya. Karenanya, saat saya tengadahkan kepala itu dan saya tatap semesta yang diberikan kepada saya lalu saya abaikan, saya terkejut. Terkejut oleh banyaknya kepala-kepala lain menunduk, telinga-telinga lain menuli, mata-mata lain membuta. Bibir-bibir turun membentuk busur atau lurus seperti penggaris. Kami hidup tetapi tidak dalam semesta yang sama. Yang tertinggal dalam semesta yang sama tersebut adalah cangkang-cangkang kosong menunggu waktu mengubah raga menjadi debu.