Sepertinya saya harus berterima kasih kepada sang penulis Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck yang kini namanya semakin harum dengan diangkatnya buku tersebut ke layar emas. Sejak saya membaca tulisan Hamka yang tersohor itu - ya, kisah si kapal VanDer Wijck itu sendiri - saya kembali jatuh cinta kepada bahasa Indonesia.
Cara saya mengenal Hamka memang sedikit berputar-putar karena saya dulu tidak berkiblat pada sastrawan-sastrawan besar Indonesia. Sedari dulu, saya lebih akrab dengan Jane Austen dan Danielle Steele. Itupun tidak saya jelajahi benar seluruhnya. Hanya yang saya kebetulan tahu cukup terkenal di kalangan pecinta sastra Inggris klasik. Pride and Prejudice, misalnya. Kemudian dengan masuknya saya ke jurusan Sastra Inggris, saya semakin mengakrabkan diri dengan penulis-penulis barat dan karya-karya sastra asing. Bahasa Inggris dengan bentuk kalimatnya. Budaya di balik kata-kata.
Empat tahun lamanya saya mengasingkan diri dari bahasa Ibu Pertiwi. Beranggapan bahasa Indonesia jelek; novel terjemahan jelek. Saya dengan angkuhnya memilih membaca novel berbahasa Inggris yang lebih asli dan esensinya lebih tersampaikan. Tanpa bermaksud mengecilkan pekerjaan penerjemah - karena toh saya sendiri sekarang dan semenjak satu setengah tahun yang lalu berprofesi sebagai penerjemah freelance - saya hingga kini tetap mendapati sebuah novel lebih bagus aslinya daripada terjemahannya. Namun, kemudian saya bertemu Hamka.
Hamka, yang pada awal saya baca tulisannya begitu aneh. Menggelitik. Kental sekali terasa bahwa kalimat-kalimat itu tidak dimaksudkan sebagai bahasa tertulis, melainkan bahasa lisan.
Hamka, yang tata cara penulisan kalimatnya berantakan tidak sesuai EYD. Ah, tapi Hamka telah hidup jauh sebelum EYD lahir.
Seusai saya baca Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck, saya jadi haus akan bahasa Indonesia. Bukan berarti saya tidak lagi menyukai novel berbahasa Inggris, bukan. Saya hanya merasa saya harus mengejar ketertinggalan selama empat tahun. Atau mungkin malah ketertinggalan seumur hidup saya? Saya merasa menemukan sesuatu yang tidak pernah saya sadari hilangnya.
Saya amati bahwa, dari tulisan Hamka, permasalahan budaya dan adat di Indonesia memang jadi tema yang lumayan bisa banyak dikulik. Sengketa bak Romeo & Juliet-nya Shakespeare. Lalu, eksplorasi alamnya. Alam Indonesia yang kaya. Suku dan budaya yang ragamnya seperti konfeti, berwarna-warni yang keindahannya diperkuat dengan keragamannya. Bukan untuk dilihat satu-satu.
Kemudian saya baca Akar, jilid dua dari serial Supernova Dee Lestari. Meneruskan kembali jeda lama dari kali pertama saya baca Ksatria, Sang Putri, dan Bintang Jatuh. Berkenalan dengan penulis Indonesia yang bisa juga mengangkat isu yang lebih mendalam dibanding masalah sosial yang kasat mata. Isu pikiran. Isu manusia. Manusia sebagai manusia, bukan hanya sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. Saya sadar Dee termasuk penulis modern. Maju dari jamannya.
Namun, Hamka tidak lebih buruk dari Dee dan Dee tidak lebih buruk dari Hamka. Membaca keduanya, membandingkan keduanya, saya jadi ngeh bahwa Indonesia bisa begini: memiliki dua jenis tulisan di mana yang satu kuat dalam mengangkat isu kekayaan budayanya, sementara yang lain sanggup bersaing dalam dunia intelektual. Ini Indonesia. Tidak ada yang lebih baik atau buruk; keduanya sama masih dapat berkembang.
Saya ingin begitu. Ingin ambil bagian dalam perkembangan sastra Indonesia. Ingin bisa mencoba menjajaki dunia dari mata Hamka dan dari mata Dee. Ingin bisa mengisahkan Indonesia dengan mulut Hamka dan dengan mulut Dee. Ingin menulis. Membawa Indonesia ke potensi terbaiknya.
Menurut saya, Indonesia saat ini masih seperti kata Hamka,
"Di tanah Indonesia ini, umur kesusasteraan belum lagi tinggi. Perhatian orang untuk memperindah bahasa negerinya masih baru. Sebab itu amat sulit jalan yang ditempuh oleh pengarang. Belum banyak orang yang kenal kepada buah penanya." (Hamka, 1961: 155)
Tetapi tidak ada alasan untuk pesimis, karena toh 72 tahun dari kali pertama Tenggelamnya Kapal VanDer Wijck diterbitkan, muncul penulis hebat seperti Dee. Rentang waktu yang tidak sebentar, tetapi toh tetap ada. Dan sebelum Dee, banyak lagi penulis-penulis Indonesia yang mengisi periode tersebut.
Maka dari itu, terima kasih, Hamka - setelah perkenalan dengannya, saya jadi kembali peduli dengan dunia kesusasteraan Indonesia. Saya jadi kembali haus akan bahasa negeri sendiri. Terlalu lama saya melayang-layang dengan bahasa yang efektif, berguna sekaligus indah dengan caranya sendiri, tetapi tetap bukan milik saya dan bukan dengan apa saya dibesarkan. Hampir saya menjadi seperti kacang lupa kulit, tetapi tidak. Saya masih bisa kembali berkenalan dengan sastra negeriku.
Daftar Pustaka:
Hamka. 1961. Tenggelamnya kapal VanDer Wijck (Cetakan ke-8). Jakarta: Penerbit Bulan Bintang
No comments:
Post a Comment